Rabu, 14 Maret 2012

ILMU JARH WAT- TA’DIL


ILMU JARH WAT- TA’DIL
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Teori dan Metodologi Studi Al-Qur’an dan Hadis
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A.

Oleh :
Muhammad Solichun
M1.11.015


MAGISTER STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2011






ILMU JARH WA TA’DIL
Pendahuluan
            Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai Imu jarh wa al ta'dil
1.        Pengertian jarh dan ta’dil
a.         Jarh secara bahasa :
Masdar dari jaroha, yajrihu, apabila dikatakan badannya luka dimungkinkan keluarnya darah dari badannya. Dan bila dikatakan cacat seorang hakim dan saksi lainnya bila ditemukan hilang keadilannya atau termasuk berbohong dsb.
b.         Jarh secara istilah :
Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”
c.          “Ta’dil secara bahasa:
Sesuatu yang tegak dalam jiwa yaitu sesuatu yang lurus.
d.         “ta’dil secara Istilah :
Lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”.
Ilmu al-jarh wa at-ta’adil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal para rawi dalam bidang mengeritik kajaibannya.dan memuji keadilannya, dengan norma-norma tertentu, sehingga dengan demikian dapat ditentukan siapa yang diantara para rawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadist yang diriwayatkanya.

2.        Landasan jarh wa ta’dil
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4
282. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. [179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Hadis Rosululllah SAW tentang jarh :
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : ”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari)
Hadis Rosululllah SAW tentang ‘Adil  :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia, dan dalam ilmu hadits penyelidikan terhadap para periwayat adalah wajib hukumnya dalam rangka memelihara sunnah Nabi saw yang didasari pada kaedah umum ajaran Islam.
3.         Perkembangan ilmu jarh dan Ta’dil
       Perkembangan ilmu jarahwa ta’dil bersamaan dengan tumbuhnya perowi dalam Islam, maka kita wajib mengetahui keshahihan dari perawinya, mengetahui kemungkinan para ahli ilmu fiqih tentang kejujuran dan kebohongannya, sehingga memungkinkan kita untuk membedakan antara riwayat yang ditolak dan yang diterima. Dengan demikian menimbulkan pertanyaan tentang perowi, mengikuti mereka didalam perbedaan kondisi ilmu mereka, mengetahui seluruh kondisi mereka, membahas mereka dengan detail sehingga mengetahui kadar ingatan, kedhobitan dan luasnya bidang yang dikuasainya.
Disamping itu ada riwayat dari rosulullah SAW “ Sungguh telah sampai kepada kita perkataan para sahabat dalam bab ini, dan perkataan sesudah sahabat, para tabiin, mereka menjelaskan kondisi perowi  mengkritik dan memuji karena Allah, tidak ada tekanan dari siapapun, tidak karena emosi, dan tidak ada satupun para pengkritik hadis yang mengingkari hadis rosul, termasuk bapaknya, saudaranya maupun anaknya. Dan mereka sungguh-sungguh ingin total dalam pelayanan hokum, menjaga sumbernya, jujur ucapannya dan ikhlas niatnya.
Syu’bah bin hujaj (82 – 160 H ) ketika ditanya tentang hadis oleh Hakim bin Jabir mengatakan “aku takut neraka).
Dan bertanya kaum dari Ali bin Madini (161 – 234 H) tentang ayahnya, maka berkata : bertanyalah tentang dia kepada selain aku, dan mereka kembali menanyakan, maka beliau menjawab, dia beragama, sesungguhnya dia lemah.
Abdullah bin Ahmad bin Hambal : telah datang  Abu Thurab an Nakhsyi kepada bapakku, maka bapakku berkata : Fulan itu lemah, fulan yakin, maka Abu Thurab berkata : Ya Syeh, jangan menggunjing seorang ulama, maka ayahku balik berkata : ini sebuah nasehat bukan gunjingan.
-          Yahya bin Mu’in :
-          Yahya bin Said al Qatan :
4.         Mutakallimin yang Masyhur  dalam periwayatan hadis.
-          Tabiin : Muhammad bin siroin (…… 110 H), Amir as Syu’bi ( 19 -103 H)
Generasi  sesudahnya : Syu’bah bin hujaj (82-160 H), Malik bin Anas ( 93 – 179 H )
Generasi pengritik : Sufyan bin ‘Uyainah (107 – 198 H ), Abdur Rahman bin Mahdi ( 135 – 198 H )
Imam dalam hal ini : yahya bin Mu’in ( 185 – 233 H )
-          Imam jaroh wa ta’dil pada masa itu : Imam Ahmad bin Hambal ( 164 – 241 H ), Imam Ali bin Abdullah al Madini ( 161 – 234 H )
Diikuti Imam Muhammad bin Ismail al Bukhori ( 194 – 256 H ),  Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar Razi (195 – 277 H ), Abu Zar’ah Ubaidillah bin Abdul karim Ar razi ( 200 –  264 H )
5.         Metode Para Ulama dalam menjelaskan keadaan Perawi
1.       Amanah dan berintegritas dalam hukum
2.       Kedalaman pembahasan
3.       Literature yang digunakan
4.       Catatan keadilan dan cacat
6.         Syarat  Menta’dil dan Menjarh
Para imam menggambarkan keadaan perawi, mereka meluruskan tentang hafalan sunahnya dan membedakan antara yang sahih dan yang cacat. Di samping itu kebesaran dari ilmu, wirai, kejujuran dan keagamaannya, mereka menghabiskan hidupnya pada urusan ini, dan mengetahui apa-apa yang dibutuhkan dalam keadilan, sebab-sebab cacat, Untuk ini para ulama mewajibkan adanya syarat-syarat ini di dalam menjarh dan menta’dil. Dan wajib bagi siapapun yang menekuni masalah ini untuk memeiliki ilmu, shaleh, wirai dan jujur, tidak cacat, dan tidak fanatic terhadap sebagian perawi yang terkenal dalam jarh wa ta’dil.
7.         Popular dalam  Keadilan
Pengertian keadilan rawi ada 2 hal : diantaranya terkenal diantara ahli ilmu akan keadilannya, seperti Malik bin Annas, Sufyan as-sauri, Syu’bah bin Hujaj, Imam Ahmad dan lainnya. Adapun Tazkiyah adalah memperbaiki bukti keadilan bagi seseorang yang belum mengetahui keadilan seorang perawi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar