Rabu, 14 Maret 2012

EPISTIMOLOGI ILMU SEYYED HOSSEIN NASR



 EPISTIMOLOGI ILMU SEYYED HOSSEIN NASR

MAKALAH (Revisi)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Dosen Pengampu : 1. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.
                                              2. Asfa Widiyanto, M.A., Ph.D.


Oleh :
Muhammad Solichun
M1.11.015


MAGISTER STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral, spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan corak peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans. Paham yang serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal. Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari kehidupan manusia.
Hasrat atau keinginan akan kembali pada nilai eksistensi semakin mendesak bagi manusia Barat. Hal ini dikarenakan, dunia ilusi yang mereka ciptakan disekelilingnya untuk melupakan dimensi transenden kehidupan mereka yang hilang, mulai menunjukan watak yang sesungguhnya. Sehingga segala respon yang terjadi harus bersumber dari tradisi-tradisi suci (agama) yang otentik. 1 Terbukti bahwa pada saat ini di Barat sebagaian besar perhatian tertuju kepada  metafisika dan spritualitas Timur, dan orang-orang Eropa maupun di Amerika rajin mencari buku- buku petunjuk, syair-syair atau musik-musik yang berhubungan dengan sufisme. Dalam hal ini ada sebuah pernyataan dari Barat yang menyebut Timur sebagai negeri pagi/negeri matahari terbit. Karena itu para penulis Barat ketika menceritakan pertemuan mereka dengan Timur, menyebut dunia Timur secara romantis. 2 
Di tengah krisis yang melanda tersebut, hadir satu sosok pemikir Seyye Hossein Nasr datang memberikan pencerahan dengan hasil pemikirannya. Pendapatnya krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi. Se
1 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: Published by ABC Internatioan Group, Inc. 1975, h. 71.
2 Negeri pagi yang sering kali dilukiskan sebagai negeri yang penuh pesona ruhani, untuk lebih  lengkapnya bisa dilihat, Murtada Muthahari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 9.
hingga menurut Nasr manusia modern semakin lama semakin menjauh dari pusat eksistensinya, yaitu manusia sebagai "citra Tuhan" di pusat dunia. 3 
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat. Yaitu menciptakan masyarakat kota industri dan peradaban modern yang lupa akan tradisi dan pesan-pesan suci dari Timur, mereka tenggelam dalam masyarakat konsumtif. 4 
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran
Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih
mendalami pemikirannya.
2.    Rumusan Masalah
1. Siapakah  Seyyed Hossein Nasr?
2. Apa pengertian Epistimologi Ilmu?
3. Bagaimana pemikiran Seyyed Hossein Nasr di dunia keilmuan?


3 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, (Londong: Mandala  Books, 1976), h. 63.
4   Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983)






BAB II
PEMBAHASAN
1.      Biografi Seyyed Hossein Nasr
a.    Latar Belakang dan Pendidikan Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr.5 Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanaan yang dianugerahkan oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.
Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran Syiah tradisional. 6 Aliran yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syiah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syiah telah lama hidup di sana yang didukung oleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh.
Sebelum pindah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah Teheran. Selain itu oleh ayahnya dia juga dikirim untuk belajar di lembaga atau madrasah pendidikan di Qum yang diasuh Allamah Thabathaba’i untuk belajar filsafat, teologi dan tasawuf. Ia juga diberi pelajaran tentang hafalan al-Quran dan pendidikan tentang seni Persia klasik. 7 



5 William C. Chittick,Prefa ce ” dalam The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, ed. Aminrazavi and Moris (Kuala Lumpur: tp, 1994), h. xiii.
6 Tradisi yang dimaksud disini yaitu serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit dengan disertai sebuah manifestasi Ilahiah, dengan disesuaikan pada konteks kemasyarakatan yang berbeda-beda. Lihat Seyyed Hossein Nasr,Islam and the Plight Modern Man, (London: Longmans, 1976) Atau dalam edisi terjemahannya, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hal. 79.
7 William C. Chittick,Prefa ce …, h. xiii.
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan memasukkkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sebagai seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.
Selain bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika.8 Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof Schuon tentang perenialisme. Selain itu juga berkenalan dengan pemikiran Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, Luis Massignon dan Martin Lings.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika.9 Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis desertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard University.
Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia, sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi ini selesai dengan judul “Conceptions of Nature in Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to Islamic CosmologicalDoctrines”. Dengan selesainya
8 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, State University of New York Press, 1981
9 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, State University of New York Press, 1989
Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun tepatnya pada tahun 1958.
b.      Pengaruh Pemikiran Yang di dapat
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syiah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial.10 Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. 11 Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master. Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.12 Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
10 Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang Kenyataan Ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi spiritual sejak awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”, warna mistikalnya amat kental. Tulisan Zainal Abidin Bagir dalam koran Tempo dalam kolom Suplemen Ruang Baca, tanggal 11 Februari 2003.h ttp : //www.crc s.u g m. a c. id /sta ffile/zab /filsa fa t_ p eren n ia l_ ke mba li_ ke _ ma sa_ d ep an .h tm
11 Schuon, Frithjof, Islam and the Pernnial Philosophy, World of Islam Festival Publising tahun 1976.
     Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995) (terjemahan bahasa Indonesia)
12 Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradisi.

2.      Epistimologi Ilmu dan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
a.       Pengertian Epistimologi Ilmu
“Epistemologi” secara etimologis berasal dari dua suku kata, yakni: “epistem” (Yunani) yang berarti pengetahuan atau ilmu (pengetahuan) dan ‘logos’ yang berarti ‘disiplin’ atau teori. Dalam KamusWebst er disebutkan bahwa epistemologi merupakan “Teori ilmu pengetahuan (science) yang melakukan investigasi mengenai asal-usul, dasar, metode, dan batas-batas ilmu pengetahuan.” 13 
Mengapa sesuatu disebut ilmu? Apa saja lintas batas ilmu pengetahuan? Dan, bagaimana prosedur untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat ilmiah? Pertanyaan-pertanyaan itu agaknya yang dapat dijawab dari pengertian epistemologi yang sudah disebutkan. Epistemologi merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang membahas tentang cara dan alat untuk mengetahui, tulis Hollingdale. Ia mendefinisikan epistemologi secara sederhana sebagai “Teori mengenai asal usul pengetahuan dan merupakan alat untuk mengetahui” 14 Kata-kata “to know” (untuk mengetahui) dan “means” (alat-alat) menjadi kata kunci dalam poses epistemologis. Bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu, serta metode (teknik, instrumen dan prosedur) apa yang kita gunakan untuk mencapai pengetahuan yang bersifat ilmiah? Inilah inti pembahasan yang menjadi perhatian epistemologi.
Epitemologi atau teori ilmu pengetahuan juga sering diartikan sebagai cabang filsafat yang mencurahkan perhatian terhadap dasar, lingkup, dugaan-dugaan serta ketentuan umum yang terandal untuk mengklaim sebagai ilmu pengetahuan.

b.      Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
1.      Sains
Kaum modernis Islam umumnya mempunyai kecenderungan ingin menunjukkan


13 Webster’s New World Dictionary of the American Language (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962). Webster menyebutkan epistemologi merupakan: “The theory of science that investigate the origins, nature, methods, and limits of knowledge.”
14 R.J. Hollingdale, Western Philosophy (London: Kahn & Averill, 1993) hal. 37. Ia  menegaskan, epistemologi merupakan: “The theory of the nature of knowing and the means by which we know.

kesesuaian antara Islam dengan sains modern. Diantara bukti yang mendukungya adalah kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir lima abad. Maka sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam ortodoks, diantaranya adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh di kalangan ini.
      Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat dengan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengubah agama Islam agar sesuai dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia dengan keras mencela:
“tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai dengan modernisme dan mau melakukan apa saja untuk menunjukkan bahwa Islam bagaimanapun juga adalah agama 'modern' dan, berbeda dengan Kristen, sama sekali tidak bertentangan dengan sains. 15

      Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang mengklaim Islam sesuai dengan sains modern, yaitu sains yang dianggap dipelopori oleh Galileo dan Newton, jelas-jelas mengandung cacat. Kesalahan mereka, menurut Nasr, adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sesuai dengan kewajiban agama, sengaja diubah agar menjadi sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap keliru karena term ilm, tidak hanya menyangkut masalah duniawi teapi juga menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, dan lain- lain hal gaib lainnya. Jika mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti menggerogoti tauhid. 16
Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten menggunakan peralatan dan teknik-teknik sains modern, jika tidak hati-hati akan menghancurkan struktur agama Islam. Masalahnya, sains modern hanya mengandalkan akal dan pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda dengan sains zaman dulu.
15  Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176.
16  Ibid., hlm. 179

Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunyai pendapat yang baik:
tidak pernah menjadi tantangan bagi Islam seperti halnya sains modern. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia dari Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka setelah mempelajari matematika dan kimia modern. 17
     Jika kita ingat perbedaan mendasar kerangka konseptual sains abad pertengahan dan abad modern, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tersebut tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja dalam batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yang ciri-cirinya sudah ditetapkan oleh apa yang diyakini sebagai wahyu. Secara umum., sains secara prinsip dipandang sebagai cara untuk menggambarkan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi,  harus membuktikan bahwa iman didukung oleh alasan dan faka-fakta fisik. 18  
      Sains modern dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang merupakan manifesasi corak pemikiran rasionalistis dan antroposentris serta sekularisasi kosmos. Ilmu dalam konsepsi Barat seperti inilah yang disebut oleh Nasr telah menempati mode khusus, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian. 19
2.      Tasawuf
Pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme. Dikatakan posmodernis karena ia banyak mengkritik pemikir- pemikir modernis Islam seperti Abduh, Al-Afgani, Amir Ali dan Ahmad Khan sebagai pengemban budaya Barat dan sekulerismenya.


17  G. Sarton, Introduction to he History of  Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5.
18  Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
19  Ibid., hlm. 9
.Neo-modernis karena ia adalah pengkritik Barat dengan segala aspeknya, dan menampilkan kembali warisan pemikiran Islam sebagai solusi atas modernitas yang dimotori Barat tersebut. Juga sebagai neo-sufisme dengan bukti sebagai seorang pemikir sufi yang menerima pluralisme dan perenialisme (kekekalan) sebagai wujud nyata pemikiran sufinya, disamping sebagai sufi yang sebenarnya yang selalu menginginkan penggalian yang sedalam-dalamnya atas spiritualitas dan makna batin Islam.
Nasr salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat yang juga seorang ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari Timur ia mewarisi akar tradisi mistis dari Persia sebagai salah satu pusat tradisonalitas Islam, diajari bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga batin berdasarkan akar pemikiran Syiah, disisi lain ia juga sorang ahli ilmu terapan yang dipelajarinya dari Barat modern. Seorang ahli fisika yang kemudian melintasi sektornya hingga metafisika. Dia termasuk orang yang kecewa dengan ilmu sain modern yang tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang radikal tentang Wujud Abadi atau Realitas Universal.  Hal itu yang membuat ia menjadi seorang yang anti modernis dengan segala hal yang ada di dalamnya. Sehingga juga tepat jika ia sebenarnya adalah seorang neo-tradisionalis yang mencoba mengetengahkan rekonstruksi pemikiran Islam tradisional di tengah dunia modern ini. 20 Tentunya dengan sufisme sebagai solusi yang ia berikan sebagai sebuah keilmuan yang harus dipahami dan menjadi ruh dari keilmuan modern yang lain, agar manusia modern kembali kepada khittahnya sebagai makhluk Tuhan.
Armahedi Mahzar mengkategorikan model pemikiran Seyyed Hossein Nasr  cenderung masuk dalam kategori model monadic, yang memandang memandang bahwa agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang ilmu dan kebudayaan. Bagi Nasr agama, yang diwakili oleh Teologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain tidak boleh keluar dari kerangka dan dalam rangka membela teologi. 21


20 Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays”London George allen and unwin”LTD,Ruskin hous museumstreet,Tehran:1970
21  Armahedi Mahzar,  Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.

3.        Setting Sosial Politik
Sayyed Hosein nasr memiliki banyak sekali pemikiran, dengan pemikiran itu di periodisasi menjadi empat priode yaitu periode 1960-an, 1970-an, 1980-an, dan 90-an. 22
Pada periode pertama pemikiran Nasr dapat dilihat pada karyanya yang pertama yaitu tradisionalis yang memaparkan tentang pandangan dari pemikir klasik seperti Ikhwan al-Shafa, Ibn Sina dan al-Biruni. Three Muslim Sages (1964) yang memaparkan pemikiran tiga tokoh muslim klasik, yaitu Ibnu Sina dengan filsafat Paripatetiknya (masysyaiyyah), Suhrawardi dengan filsafat Illuminasionisme (isyraqiyyah), dan Ibn Arabi dengan pemikiran Irfaniyahnya (ma’rifah). Dan di akhir 1960-an Nasr melontarkan kritiknya terhadap Barat. Ia mengkritik atas realitas kemanusiaan modern dalam karyanya Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man (1968) yang berbicara tentang krisis spritual manusia modern dengan salah  satu buktinya yaitu manusia modern telah memperlakukan alam sekitarnya dengan  semena-mena. Hal ini sekaligus peringatan kepada negara berkembang yang telah terancam modernisasi dan globalisasi.
Pada periode kedua, kritik Nasr terhadap dunia modern semakin dipertajam dengan menawarkan alternatif keluar dari krisis modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang merupakan bentuk kongkrit dari pemikirannya. Hal ini dipaparkannya dalam  bukunya Sufi Essay (1972). Islam and the Plight Modern Man (1976) juga tulisan Nasr merupakan buku yang propokatif dan penuh keprihatinan yang membicarakan masalah yang dihadapi oleh para muslim modern, dan priode ini pada tahun (1970-an).
Memasuki periode ketiga, ia banyak menuangkan gagasannya secara kongkrit sebagai alternatif hidup di dunia modern. Ia banyak mengkritik para Muslim modernis yang dinilai sebagai pengemban pemikiran modern Barat yang sekular. Seperti contoh Muhammad Abduh, Al-Afghani, Amir Ali dan Ahmad Khan. Dan menurut Nasr, selain mereka itu ada gerakan-gerakan puritanis rasionalistik yang membunuh tasawuf seperti halnya gerakan Wahabiyah yang dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Islamic Life and Thought (1981).



22. Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahaman Wahid dan Hasyim Wahid,Yogyakarta: Pusaka, 2001
 Knowladge and Sacred (1981) merupakan karya Nasr yang banyak membicarakan epistemologi berpikir Tradisional dalam Islam. Islamic Art and Sprituality (1987) mengulas keindahan dan kebesaran seni budaya Persia sebagai seni suci dan seni tradisional, pada priode ini pada tahun (1980-an).
Periode terakhir  Nasr menggagas tindakan nyata tentang teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern seperti dalam karyanya Religion and Religion: The Chlallenge of Living in a Multireligious World (1991) yang juga mengutarakan gagasannya tentang perempuan dan kerukunan antar agama yang didasarkan pada filsafat perennial, pada priode ini yaitu pada tahun (1990-an)
4.        Karyanya

Seyyed Hossein Nasr dikenal luas sebagai pengarang sejumlah buku dan artikel yang laris. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, beberapa di antaranya adalah Man and Nature: Spiritual Crisis of Modern Man (Kazi Publications, 1998), Religion and The Order of Nature (Oxford, 1996), dan Knowledge and the Sacred (SUNY, 1989).karyanya yang pertama yaitu An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964 )
Karya-karyanya dalam bahasa Inggris23 :
  • An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1978) Sebuah Pengantar Doktrin-doktrin kosmologis Islam (1978)
  • Living Sufism (1980) Hidup Sufisme (1980)
  • Knowledge and the Sacred (1981) Pengetahuan dan Suci (1981)
  • Islamic Life and Thought (1981) Islam Hidup dan Pemikiran (1981)
  • Islamic Art and Spirituality (1981) Seni dan Spiritualitas Islam (1981)
  • Sufi Essays (1991) Sufi Essays (1991)
  • The Need for a Sacred Science (1993) Kebutuhan untuk Sains Suci (1993)
  • Religion and the Order of Nature (1996) Agama dan Orde Alam (1996)
  • Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (1997) Manusia dan Alam: Krisis Spiritual di Modern Man (1997)
  • The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (2007) Taman Kebenaran: Visi dan Janji tasawuf, Mistik Tradisi Islam (2007)
  • The Essential Frithjof Schuon: Selected and Edited by Seyyed Hossein Nasr Frithjof Schuon yang Esensial: Dipilih dan Diedit oleh Sayyed Hossein Nasr
  • Three Muslim Sages (His first major book which is dedicated to Frithjof Schuon) Tiga Muslim Bijak (buku pertama besar-Nya yang didedikasikan untuk Frithjof Schuon)
Itulah sebagian karya-karyanya, yang sudah menjadi lalapan bagi para pemikir-pemikir lainnya untuk di jadikan sebuah perbandingan.
5.        Refleksi
                Nasr menggunakan istilah "ilmu pengetahuan Islam" sebagai sistem ilmu pengetahuan yang secara amat kental disusupi oleh metafisika Islam. Namun semangat tingginya sebagai seorang tradisionalis menjadikan apa yang ada dalam sejarah sebagai model ideal bagi "ilmu pengetahuan Islam", yang baginya masih hidup hingga kini dan mesti dilestarikan.
Pengertian ilmu pengetahuan pada Nasr berbeda amat jauh dengan ilmu pengetahuan sebagaimana yang lazim dipahami kini. Sebagai contoh, ia biasa menggunakan istilah scientia sacra (sacred science, ilmu sakral) untuk menunjukkan bahwa seharusnya aspek kearifan jauh lebih penting dalam ilmu pengetahuan daripada aspek teknologinya, yang menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern. Ia tampaknya secara sengaja bertahan menggunakan kata "ilmu pengetahuan" justru untuk menunjukkan betapa jauhnya ilmu pengetahuan modern kini telah menyimpang dari apa yang sesungguhnya disebut ilmu pengetahuan pada mulanya.
            Nasr juga kerap mengkritik keras kaum modernis, yang muncul sejak akhir abad ke-19, yang berusaha merekonstruksi pemikiran Islam agar sesuai dengan zaman modern. Menurutnya, kaum modernis itu justru telah mendistorsi tradisi intelektual Islam, semata-mata agar tampak tak "tertinggal" dibanding negara-negara Barat, padahal, di balik "kemajuan" dunia modern itu, ada kemunduran yang amat nyata, terutama dalam bidang spiritual. Distorsi besar lain adalah penerjemahan kata 'ilm yang khas Islam menjadi science dalam makna modernnya. Istilah science untuk menyebut ilmu-ilmu eksperimental, dan sebagai pembeda dari filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, baru muncul pada abad ke-19. Sementara 'ilm, yang mensyaratkan kepastian (certainty), mencakup beragam jenis ilmu dan beragam metode pencapaiannya.
            Sebagai seorang tradisionalis Nasr memandang perkembangan teknologi modern yang pesat dengan pesimis. Ia terutama menyoroti kerusakan lingkungan, yang terjadi mengerikan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sumber ini semua adalah teknologi yang dirancang semata-mata dengan memperhatikan nilai-nilai dunia modern - seperti efisiensi, efektivitas, nilai ekonomis - tanpa memperhatikan kebutuhan manusia, jasmaniah maupun ruhaniah, dan tanpa memperhatikan hubungan ruhaniah antara manusia dengan bumi dan makhluk-makhluk lainnya.
            Dalam karyanya yang lebih belakangan, seperti Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan yang Sakral) terbit tahun 1989 dan The Need for Sacred Science (Kebutuhan akan Ilmu Pengetahuan Sakral) terbit tahun 1993, selalu muncul kembali tema keprihatinannya terhadap kenyataan betapa sulitnya manusia modern mengapresiasi hal-hal yang sakral (the sacred). Dalam semua hal di atas - baik kritiknya terhadap kemodernan maupun mistisisme sebagai jalan keluarnya - Nasr amat dipengaruhi dua tokoh terbesar filsafat perenial di zaman ini, yaitu Rene Guenon dan Frithjof Schuon.
            Dalam membicarakan sejarah ilmu pengetahuan Islam, kecenderungan mistis ini juga tampak amat kuat. Nasr memandang bahwa ada satu semangat yang selalu hadir dalam perkembangan beragam cabang ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu keyakinan pada tauhid (khususnya dalam penafsiran mistisnya). Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini di dunia Islam boleh dikatakan mundur dengan ukuran apa pun, tetapi sebagai gagasan ilmu pengetahuan Islam selalu hidup, dan inilah yang tampaknya diharapkan kebangkitannya oleh Nasr.












BAB III
PENUTUP
A.      SIMPULAN
      Sayyed Hossein Nasr dilahirkan di Teheran, Iran, 7 April 1933, dari keluarga terpelajar. Ayahnya bernama Sayyed Waliyullah Nasr adalah dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu ilmuwan terkemuka dunia dalam bidang ilmu pengetahuan Islam dan spiritualitas. Ia adalah tokoh intelektual yang sangat dihormati, baik di Barat maupun dunia Islam. Ia juga dikenal luas sebagai pengarang.
            Epitemologi atau teori ilmu pengetahuan juga sering diartikan sebagai cabang filsafat yang mencurahkan perhatian terhadap dasar, lingkup, dugaan-dugaan serta ketentuan umum yang terandal untuk mengklaim sebagai ilmu pengetahuan.
      Pemikiran Nasr tentang sains adalah sains yang berkembang di Negara barat saat ini sudah sangat menyimpang, maka beliau mempopulerkan sains Islam, Al “ilm tidak hanya diartikan kepada iptek dan duniawi saja, melainkan lebih luas lagi termasuk pengetahuan tentang Tuhan dan hal-hal yang Ghaib. Sayyed Hosein nasr memiliki banyak sekali pemikiran dengan pemikiran itu  di prieditasi menjadi empat priode yaitu periode 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an.
Pemikiran Tasawuf Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.
B.  SARAN
            Umat Islam dan generasi muda pada khususnya di imbau untuk menguasai sains tetapi harus dilandasi dengan tauhid yang kuat, agar sains yang dimilikinya tidak menyimpang dan menjadikan dirinya melalaikan hakikat kehambaannya kepada Tuhan dan melakukan pembaharuan dalam dunia pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Nasr, Seyyed Hossein, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: Published by ABC Internatioan Group, Inc. 1975, h. 71.
Nasr, Seyyed Hossein, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, (Londong: Mandala  Books, 1976), h. 63.
Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought, State University of New York Press, 1981
Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and The Sacred, State University of New York Press, 1989
Nasr,sayyed hossein, Sufi EssaysLondon George allen and unwin”LTD,Ruskin hous museumstreet,Tehran:1970
Nasr,sayyed hossein, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176.
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983)
Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahaman Wahid dan Hasyim Wahid,Yogyakarta: Pusaka, 2001
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 9.
William C. Chittick, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, ed. Aminrazavi and Moris (Kuala Lumpur: tp, 1994), h. xiii.
Schuon, Frithjof, Islam and the Pernnial Philosophy, World of Islam Festival Publising tahun 1976.
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995) (terjemahan bahasa Indonesia)
Armahedi Mahzar,  Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
Webster’s, New World Dictionary of the American Language (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962).
R.J. Hollingdale, Western Philosophy (London: Kahn & Averill, 1993) hal. 37.
G. Sarton, Introduction to he History of  Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar