|
Ujian
Nasional atau disingkat UN setiap tahun selalu menarik perhatian masyarakat.
Debat antara
perlu dan atau tidak perlunya UN sudah
lama terjadi. Masing-masing pihak
mengajukan argumentasi. Tetapi sampai hari, ini
pemerintah masih menganggap bahwa UN
perlu diselenggarakan, sehingga ujian nasional itu
masihdilaksanakan.
Satu
di antara banyak hal yang selalu ramai dibicarakan terkait dengan UN adalah
menyangkut tentang obyektivitas pelaksanaannya. Banyak kasus yang muncul di
mana-mana bahwa pelaksanaan UN ditengarai banyak penyimpangan. Penyimpangan itu
misalnya, kertas jawaban yang telah dikerjakan oleh siswa diubah oleh oknum
tertentu, agar para siswanya lulus semua. Selain itu, ada saja oknum pengawas yang
mendekte jawaban soal-soal di tengah-tengah ujian berlangsung.
Ujian
yang semestinya merupakan alat untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan para
siswa dalam menempuh pendidikan, ternyata disusupi oleh kepentingan lain,
misalnya untuk meningkatkan citra lembaga pendidikan yang bersangkutan, kepala
sekolah, sampai pada prestise daerah yang bersangkutan. Mereka merasa hebat dan
terangkat citra dirinya ketika semua siswanya lulus sesuai dengan target.
Kasus
lain yang terjadi adalah ada di satu Madrasah Aliyah negeri, yang notabene
siswa tersebut Juara olimpiade fisika, ternyata tidak lulus, karena nilai
bahasa Inggrisnya di bawah SKL.
Sementara yang sangat ironi ada siswa yang dari penilaian afektifnya
tidak baik tetapi lulus UN. Dengan fakta tersebut ada kesimpulan sementara
bahwa Karakter tidak diprioritaskan, dan juga dengan predikat tidak lulus UN
membawa dampak negative yaitu predikat siswa tidak pandai atau siswa gagal, hal
ini tentu sangat merugikan siswa.
Masyarakat
banyak yang mengkritisi dengan adanya UN, berbagai komentar bermunculan, di
antaranya “ Apakah Kelulusan siswa hanya di ukur dengan lulusnya 4 – 5 mata
pelajaran?”, “ Mengapa nasib belajar mereka 3 tahun di tentukan UN yang beberapa hari itu?”, “ Pantaskah siswa
dikorbankan hanya untuk mengangkat citra suatu daerah?”
Di
tengah-tengah kebingungan mencari solusi agar pelaksanaan ujian nasional
berjalan secara baik, yakni jujur, adil, dan tidak ada manipulasi, muncul
informasi yang amat menarik. Informasi itu ialah adanya iktikad baik dari
pimpinan daerah, yang menginginkan agar pelaksanaan ujian nasional dilakukan
sebaik-baiknya.. Bupati menjelaskan bahwa dirinya tidak akan menyesal andaikan
tidak ada seorang pun siswa di Bojonegoro yang lulus dalam ujian nasional.
Bupati menjelaskan kepada semua kepala sekolah, bahwa kejujuran hendaknya lebih
dikedepankan daripada sebatas lulus ujian nasional tetapi diperolehnya dengan
cara manipulative. Kejujuran harus benar-benar ditanamkan pada seluruh peserta
didik. Bupati ini berpandangan bahwa sukses ujian nasional bukan tatkala dari
ujian itu para siswanya lulus 100 %, melainkan ketika ujian itu dilaksanakan
dengan cara yang jujur dan obyektif.
Bupati
tersebut berpandangan bahwa kejujuran menjadi modal utama dalam membangun
masyarakatnya. Ia berpendapat bahwa tidak lulus ujian nasional tidak mengapa,
asalkan itu didapat secara jujur. Tidak lulus pun dianggap masih ada manfaatnya
bagi kehidupan kelak, daripada lulus tetapi diperoleh dengan tidak jujur.
Bupati juga berpandangan bahwa, keberhasilan hidup tidak selalu harus diraih
melalui lulus ujian nasional. Bahkan sebaliknya kegagalan dalam ujian bisa
dijadikan pelajaran berharga dalam meraih sukses di masa depan.
Berpijak
dari beberapa respon masyarakat dan kedua kasus tersebut saya mempunya harapan
UN tidak di jadikan satu-satunya syarat kelulusan, UN tetap dilaksanakan
sebagai tolok ukur tingkat keberhasilan pendidikan, masalah kelulusan
dikembalikan lagi ke lembaga masing-masing. Apa yang dilakukan oleh seorang
Bupati dalam pelaksanaan UN, menyerukan agar dilakukan secara jujur dan
obyektif, adalah merupakan contoh yang seharusnya ditauladani bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar