MENILAI
KEADILAN HUKUM DI INDONESIA
|
Rasa keadilan itu
setiap saat ditunggu-tunggu oleh semua orang. Adil dianggap indah.
Semua membutuhkannya.
Semua orang juga mau diajak untuk memperjuangkannya.
Orang juga mau
mengorban apa saja yang dimiliki untuk memperjuangkan keadilan.
Keadilan sepertinya
menjadi sesuatu yang mahal, jarang terjadi, dan juga sulit diwujudkan.
Tidak terkecuali adil dalam hukum.
Selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan yang sifatnya
procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini, keadilan prosedural
merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang
bunyi UU terwujud, tercapailah keadilan secara formal! Apakah secara materiil
keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebajikan (virtue)
bagi banyak pihak? Para penegak keadilan prosedural tidak memedulikannya.
Mereka, para penegak keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum
positivistik dan tidak melihat betapa masyarakat tidak merasakan keadilan yang
sejatinya hukum merupakan sarana mewujudkan keadilan yang tidak sekedar
formalitas.
Di tengah-tengah konflik antara KPK,
Kepolisian, dan Kejaksaan, pasti semua pihak membutuhkan penyelesaian secara
adil. Tidak ada pihak yang mau diberlakukan secara tidak adil. Keinginan itu
tidak saja datang dari mereka yang terlibat langsung, bahkan masyarakat yang
sebatas menyaksikannya pun juga ingin melihat keadilan itu. Tetapi ternyata
tidak mudah itu semua dipenuhi, sekalipun mereka yang sedang bermasalah itu
sehari-hari sesungguhnya adalah penjaga keadilan.
Banyak kasus-kasus putusan hakim yang
tidak mencerminkan substansi keadilan hukum dimana beberapa dekade balakangan
ini mewarnai media pewartaan nasional. Semisal kasus Ibu Minah dengan
Semangkanya, atau kasus Prita—walaupun sudah dibebaskan dari gugatan—serta
kasus-kasus lainnnya. Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum dapat
dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu
tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan, serta moralitas.
Betapa pun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum
adalah perintah undang-undang, dan dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.
Ironisnya, seringkali keadilan hukum
Indonesia cenderung milik para penguasa, minimal orang kuat. Sehingga jargon
masyarakat terhadap hukum di Indosian memang benar adanya bahwa hukum akan kuat
ketika melawan orang lemah, akan tetapi ia akan lemah ketika berhadapan dengan
orang kuat (ex; orang kaya-penguasa). Atau bahkan sekedar menjadi mainan para
penegak hukum itu sendiri.
Salah satu masalah yang dihadapi
bangsa ini adalah tidak adanya kepastian hukum. Belum terciptanya law
enforcement di negeri ini terpotret secara nyata dalam lembaga peradilan. Media
masa bercerita banyak tentang hal ini, mulai dari mafia peradilan, suap ke
hakim, pengacara tidak bermoral sampai hukum yang berpihak pada kalangan
tertentu.
Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
(HuMa), menyatakan ada tujuh faktor utama yang menyebabkan stagnasi hukum di
Indonesia :
1. Pertama, politik
dan arah pembaruan hukum yang elitis.
2. Kualitas
legislasi nasional dan daerah yang rendah.
3. Penegakan hukum
yang sarat korupsi dan melahirkan mafia hukum.
4. Lembaga
peradilan tidak mewujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum.
5. Mahkamah
Konstitusi sebagai The Guardian of the Constitution lebih banyak dimanfaatkan
oleh kelompok elit.
6. Pendidikan hukum
yang bergeser orientasinya menjadi pelayan pasar.
7. Ketidakmampuan
institusi hukum dan pemerintah menyelesaikan konflik yang melibatkan rakyat
banyak dan miskin dengan cara-cara yang memenuhi rasa keadilan rakyat,
Akhirnya kita berharap hokum di
Indonesia semakin mendekati keadilan. Tuhan melalui kitab suci, memerintahkan
kepada siapapun, untuk selalu berlaku adil dan berbuat baik. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar