ILMU JARH WAT- TA’DIL
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah
Teori dan Metodologi Studi Al-Qur’an
dan Hadis
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A.
Oleh :
Muhammad Solichun
M1.11.015
MAGISTER STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
SALATIGA
2011
ILMU JARH WA TA’DIL
Pendahuluan
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya
berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang
tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam
hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka
riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai
Imu jarh wa al ta'dil
1.
Pengertian jarh dan ta’dil
a.
Jarh secara bahasa :
Masdar dari jaroha, yajrihu, apabila dikatakan badannya luka
dimungkinkan keluarnya darah dari badannya. Dan bila dikatakan cacat seorang
hakim dan saksi lainnya bila ditemukan hilang keadilannya atau termasuk
berbohong dsb.
b.
Jarh secara istilah :
Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya
atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat
menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”
c.
“Ta’dil secara bahasa:
Sesuatu
yang tegak dalam jiwa yaitu sesuatu yang lurus.
d.
“ta’dil secara Istilah :
Lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan
ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”.
Ilmu al-jarh wa
at-ta’adil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal para rawi dalam bidang
mengeritik kajaibannya.dan memuji keadilannya, dengan norma-norma tertentu,
sehingga dengan demikian dapat ditentukan siapa yang diantara para rawi itu
yang dapat diterima atau ditolak hadist yang diriwayatkanya.
2.
Landasan jarh wa ta’dil
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
6. Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
4
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4
282. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. [179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang
piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
Hadis Rosululllah SAW tentang jarh :
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang
laki-laki : ”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”
(HR. Bukhari)
Hadis Rosululllah SAW tentang ‘Adil :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik
hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang
Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk
menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia, dan dalam ilmu hadits
penyelidikan terhadap para periwayat adalah wajib hukumnya dalam rangka
memelihara sunnah Nabi saw yang didasari pada kaedah umum ajaran Islam.
3.
Perkembangan ilmu
jarh dan Ta’dil
Perkembangan
ilmu jarahwa ta’dil bersamaan dengan tumbuhnya perowi dalam Islam, maka kita
wajib mengetahui keshahihan dari perawinya, mengetahui kemungkinan para ahli
ilmu fiqih tentang kejujuran dan kebohongannya, sehingga memungkinkan kita
untuk membedakan antara riwayat yang ditolak dan yang diterima. Dengan demikian
menimbulkan pertanyaan tentang perowi, mengikuti mereka didalam perbedaan
kondisi ilmu mereka, mengetahui seluruh kondisi mereka, membahas mereka dengan
detail sehingga mengetahui kadar ingatan, kedhobitan dan luasnya bidang yang
dikuasainya.
Disamping itu ada
riwayat dari rosulullah SAW “ Sungguh telah sampai kepada kita perkataan para
sahabat dalam bab ini, dan perkataan sesudah sahabat, para tabiin, mereka
menjelaskan kondisi perowi mengkritik
dan memuji karena Allah, tidak ada tekanan dari siapapun, tidak karena emosi,
dan tidak ada satupun para pengkritik hadis yang mengingkari hadis rosul,
termasuk bapaknya, saudaranya maupun anaknya. Dan mereka sungguh-sungguh ingin
total dalam pelayanan hokum, menjaga sumbernya, jujur ucapannya dan ikhlas
niatnya.
Syu’bah bin hujaj
(82 – 160 H ) ketika ditanya tentang hadis oleh Hakim bin Jabir mengatakan “aku
takut neraka).
Dan bertanya kaum
dari Ali bin Madini (161 – 234 H) tentang ayahnya, maka berkata : bertanyalah
tentang dia kepada selain aku, dan mereka kembali menanyakan, maka beliau
menjawab, dia beragama, sesungguhnya dia lemah.
Abdullah bin Ahmad
bin Hambal : telah datang Abu Thurab an
Nakhsyi kepada bapakku, maka bapakku berkata : Fulan itu lemah, fulan yakin,
maka Abu Thurab berkata : Ya Syeh, jangan menggunjing seorang ulama, maka
ayahku balik berkata : ini sebuah nasehat bukan gunjingan.
-
Yahya bin Mu’in :
-
Yahya bin Said al Qatan :
4.
Mutakallimin yang
Masyhur dalam periwayatan hadis.
-
Tabiin : Muhammad bin
siroin (…… 110 H), Amir as Syu’bi ( 19 -103 H)
Generasi sesudahnya
: Syu’bah bin hujaj (82-160 H), Malik bin Anas ( 93 – 179 H )
Generasi pengritik : Sufyan bin
‘Uyainah (107 – 198 H ), Abdur Rahman bin Mahdi ( 135 – 198 H )
Imam dalam hal ini : yahya bin Mu’in ( 185 – 233 H )
-
Imam jaroh wa ta’dil pada
masa itu : Imam Ahmad bin Hambal ( 164 – 241 H ), Imam Ali bin Abdullah al
Madini ( 161 – 234 H )
Diikuti Imam Muhammad bin Ismail al
Bukhori ( 194 – 256 H ), Abu Hatim
Muhammad bin Idris Ar Razi (195 – 277 H ), Abu Zar’ah Ubaidillah bin Abdul
karim Ar razi ( 200 – 264 H )
5.
Metode Para Ulama
dalam menjelaskan keadaan Perawi
1. Amanah dan berintegritas dalam hukum
2. Kedalaman pembahasan
3. Literature yang digunakan
4. Catatan keadilan dan cacat
6.
Syarat Menta’dil dan Menjarh
Para imam menggambarkan keadaan
perawi, mereka meluruskan tentang hafalan sunahnya dan membedakan antara yang
sahih dan yang cacat. Di samping itu kebesaran dari ilmu, wirai, kejujuran dan
keagamaannya, mereka menghabiskan hidupnya pada urusan ini, dan mengetahui
apa-apa yang dibutuhkan dalam keadilan, sebab-sebab cacat, Untuk ini para ulama
mewajibkan adanya syarat-syarat ini di dalam menjarh dan menta’dil. Dan wajib
bagi siapapun yang menekuni masalah ini untuk memeiliki ilmu, shaleh, wirai dan
jujur, tidak cacat, dan tidak fanatic terhadap sebagian perawi yang terkenal
dalam jarh wa ta’dil.
7.
Popular dalam Keadilan
Pengertian keadilan rawi ada 2 hal :
diantaranya terkenal diantara ahli ilmu akan keadilannya, seperti Malik bin
Annas, Sufyan as-sauri, Syu’bah bin Hujaj, Imam Ahmad dan lainnya. Adapun
Tazkiyah adalah memperbaiki bukti keadilan bagi seseorang yang belum mengetahui
keadilan seorang perawi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh
sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh
adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk para perawi hadits yang meliputi
perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu ta’dil
adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan
ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih
dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini
riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang
bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah
sederhana ini dapat dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam
menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya makalah ini masih banyak
kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya,
semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar